Saturday, 5 October 2013

Kota Pekalongan : Kapasitas IPAL Belum Mencukupi

KOTA Pekalongan, - Kapasitas Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang sudah dibangun di Kota Pekalongan, hingga saat ini belum mencukupi. Baik itu IPAL komunal (terpadu) maupun skala rumah tangga. Terutama untuk pengolahan limbah batik dalam bentuk cair.

Kurangnya sarana pembuangan limbah itu menjadi salah satu penyebab parahnya pencemaran yang dan menurunkan kualitas air di sungai-sungai Kota Pekalongan, maupun pencemaran air tanah.

Karena belum memiliki IPAL, atau belum bisa terlayani IPAL terpadu yang sudah ada, maka banyak limbah industri yang dialirkan langsung ke sungai, tanpa diolah terlebih dulu. Terutama, terjadi pada limbah industri tekstil, diantaranya limbah batik dan printing. Kapasitas IPAL terpadu (komunal), maupun skala rumah tangga, tidak sebanding dengan jumlah limbah yang dibuang.

Seperti yang disampaikan Kepala Seksi Monitoring dan Pemulihan pada Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kota Pekalongan, Dione Asteria ST. Ia mengungkapkan, salah satu IPAL komunal untuk limbah batik yang ada di Kota Pekalongan, yakni IPAL di Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, saat ini bahkan sudah ‘overload’ atau over kapasitas.

“IPAL komunal di Jenggot tidak mencukupi untuk menampung semua limbah batik dari para pengrajin batik di lingkungan sekitarnya,” kata Dione, Kamis (26/9).

Ia menyebutkan, IPAL komunal untuk industri kecil batik di Jenggot berkapasitas 400 meter kubik (m3) per hari. IPAL terpadu itu melayani 106 pengusaha batik di sekitarnya. Namun, berdasar kajian, perkiraan limbah batik yang dihasilkan dari industri batik yang ada di lingkungan tersebut mencapai lebih dari 700 meter kubik per hari.

“Jadi, kapasitas IPAL komunal tersebut hanya mampu menampung setengahnya saja, dari buangan limbah batik di situ. Yang setengahnya lagi, rata-rata dialirkan langsung ke sungai tanpa diolah terlebih dulu,” bebernya.

Selain IPAL komunal untuk industri batik di Jenggot, Pemerintah Kota Pekalongan juga sudah membangun IPAL komunal untuk limbah batik di Kauman, Pekalongan Timur. Kapasitas IPAL Kauman ini mencapai 120 meter kubik. Saat ini, sudah bisa melayani 26 pengusaha batik setempat. Namun sebenarnya, imbuh Dione, IPAL tersebut masih bisa dikembangkan lagi untuk melayani para pengrajin/pengusaha batik dalam jumlah lebih besar.

Di samping dua IPAL komunal tadi, masih ada lagi beberapa IPAL untuk limbah batik di Kota Pekalongan untuk skala rumah tangga. Namun jumlahnya masih jauh lebih sedikit daripada jumlah industri batik yang ada.

KLH Kota Pekalongan mencatat, hingga tahun ini setidaknya sudah ada 13 unit IPAL industri batik skala rumah tangga. Masing-masing, dua unit di Kelurahan Kergon (Pekalongan Barat), Kelurahan Kradenan Kecamatan Pekalongan Selatan (3 unit), Kelurahan Podosugih Kecamatan Pekalongan Barat (2 unit), serta di Kelurahan Banyurip Alit Kecamatan Pekalongan Selatan (6 unit). Rata-rata, setiap IPAL tersebut berkapasitas 10 meter kubik per hari.

Selain IPAL batik, imbuh Dione, di Kota Pekalongan juga sudah ada beberapa IPAL untuk industri tahu/tempe, serta IPAL untuk kotoran ternak. IPAL komunal untuk industri tahu sementara ini ada di dua tempat, yakni di Kelurahan Duwet dan Banyurip Ageng, Kecamatan Pekalongan Selatan. IPAL Duwet ada empat unit, dengan kapasitas bervariasi, antara 50 hingga 150 meter kubik.

Adapun IPAL Banyurip Ageng ada satu unit dengan kapasitas 30 meter kubik. “Untuk IPAL tahu di Duwet, industri tahu skala rumah tangga yang sudah tersambung ke situ ada 55 industri. Sedangkan di Banyurip Ageng untuk delapan unit industri tahu,” rincinya.

Sementara, IPAL kotoran ternak ada di empat lokasi. Masing-masing, berada di Kelurahan Yosorejo (Pekalongan Timur) dengan kapasitas 100 meter kubik, lalu di Bandengan (Pekalongan Utara) kapasitas 75 meter kubik, Kuripan Lor (Pekalongan Selatan) kapasitas 100 meter kubik, serta di Ponpes Syafii Akrom Kelurahan Jenggot (Pekalongan Selatan) dengan kapasitas 100 meter kubik.
ipal

“Harapannya, adanya IPAL tahu serta kotoran ternak ini, bisa dimanfaatkan warga setempat untuk bisa dijadikan biogas. Sehingga, limbah tersebut tak terbuang percuma, tetapi juga bisa bernilai ekonomis,” tuturnya.

*) Banyak Kendala

Lebih lanjut, Dione mengakui, ada banyak kendala kenapa jumlah IPAL yang ada di Kota Pekalongan, terutama untuk industri batik, belum banyak dibangun. Selain karena kurangnya kesadaran masyarakat yang berpikir bahwa membuang limbah tanpa diolah itu jauh lebih mudah dan tidak menguras biaya, juga karena biaya untuk membangun sebuah instalasi pengolah limbah cair khususnya limbah batik, membutuhkan dana tidak sedikit. Terutama IPAL terpadu.

Ditambah lagi, kontur tanah Kota Pekalongan relatif ‘flat’ atau datar. Bahkan, terkadang kontur tanah di daerah hilir yang dekat laut, tanahnya lebih tinggi dibanding yang di tengah atau dekat hulu di perbatasan Kota Pekalongan dan daerah tetangga. Hal ini mengakibatkan air limbah yang sudah diolah melalui IPAL, tidak bisa cepat dialirkan ke hilir sungai menuju laut. Terkadang malah kembali menuju hulu.

Untuk itu, secara operasional, IPAL komunal yang akan dibangun itu harus dilengkapi sistim pemompaan sedemikian rupa, yang tentunya menambah biaya pembangunan dan listrik.

“Instalasi pengolah limbah secara komunal memang terhitung mahal. Maka kita masih maju mundur terkait hal itu. Dibutuhkan pula kerjasama dengan seluruh elemen, serta unsur terkait dari daerah tetangga. Dibutuhkan pula kerjasama dengan para ahli, untuk mencari teknologi yang pas untuk mengolah limbah cair ini agar tidak langsung dibuang ke sungai.

Sementara ini, imbuh dia, yang lebih realistis adalah memperbanyak pembangunan IPAL skala rumah tangga untuk menampung limbah cair. Sebab, biaya yang dibutuhkan tidak terlalu mahal jika dibanding IPAL komunal. Diharapkan, para pengrajin batik mulai menggunakan pewarna alami.

“Fungsi IPAL memang tidak bisa seratus persen menghilangkan kadar pencemaran dari limbah cair yang ada. Tetapi setidaknya bisa mengurangi kadar kandungan zat-zat berbahaya sehingga lebih aman untuk lingkungan dan kesehatan,” tandasnya. (way)
Disqus Comments